Di tahun 2006, di saat semua orang masih terhubung antar satu dengan yang lainnya dan internet masih belum terdengar seperti sekarang, gue membanting teman sebaya setelah meraih kerah kaos nya. Di sore hari seusai anak-anak seumuran gue telah menyelesaikan pelajaran Al-Quran di masjid komplek rumah.
Teman-teman di perumahan sedang bermain tepat di depan rumah gue yang memiliki pagar berwarna hijau-warna favorit Ibu negara, sampai tiba di saat salah satu dari mereka bercanda dengan kata-katanya yang ditunjukkan ke arah gue. Gue samar-samar lupa dengan kejadiannya, yang gue ingat hanyalah suara tangisan teman gue yang terkapar di jalanan setelah dirinya gue banting. Dan selanjutnya, gue dimarahi oleh ibu dari teman gue tersebut.
Untuk ukuran anak kelas 6 SD, gue termasuk golongan anak yang memiliki badan bongsor. Dengan berat badan 60 kg serta tinggi yang lumayan, di hari perpisahan teman-teman SD yang diadakan di salah satu auditorium, gue mengenakan jas yang dipakai Bapak ketika menikahi Ibu negara.
Semasa menginjakkan kaki di sekolah menengah sampai sekarang, rasanya gue tidak sering mendapati diri sendiri sedang marah besar. Hanya konflik kecil, dan ditutup dengan gue yang mengunci diri, ngambek sesaat atau pun gue tunjukkan dari ekspresi wajah ketika marah. Dan setelahnya, kembali seperti biasa lagi.
Bisa jadi paragraf sebelumnya gue salah. Tapi, memori gue dalam kepala mengenai marah-marah ini hanya sedikit sekali. Dan menurut gue hal ini adalah suatu anugerah, karena memori yang gue ingat lebih banyak rasa syukur serta bahagia nya ketimbang rasa marah yang gue miliki.
Oh, kebiasaan lainnya jika gue marah adalah dengan mengeluarkan sumpah serapah. Dan setelah mengucapkan kalimat tersebut akan diakhir dengan kalimat, “Astagfirullahadzim”. Hal ini akan sering didapati ketika gue menonton pertandingan Barcelona, lalu di saat permainannya tidak sesuai dengan apa yang gue harapkan-tentunya banyak faktor, mulai dari permainan tim, keputusan wasit, maupun permainan tim lawan-gue akan men-tweet kata-kata makian.
Selebihnya akan gue pendam emosi marah ini, kemudian mencoba mengatur nafas, lalu berusaha untuk bersikap baik-baik saja. Karena tidak ada hasil baik yang didapatkan jika memutuskan sesuatu setelah marah.
“Kurangin lah ngomong kasarnya”, ucapan ini pernah dikeluarkan dari seorang perempuan yang pernah dekat dengan diri gue di masa lalu. Meskipun hubungannya tidak berakhir dengan apa yang gue harapkan, setidaknya ada hal lain yang bisa gue tingkatkan untuk menjadi lebih baik.
Menurut gue, tidak ada hasil yang menguntungkan jika di saat marah yang gue lakukan malah berteriak ke orang lain. Pertama, karena energi gue tidak sebanyak itu untuk berteriak, kedua, karena gue malas, ketiga, karena gue malas.
Dengan postur badan serta default muka yang tidak ramah, saat gue ingin membayar barang-barang keperluan di kasir toko, beberapa kali disambut dengan pertanyaan “Lagi marah ya?” Oleh pemilik toko. Meskipun sejatinya, gue hanya kelelahan sehabis berolahraga di gym.
Ada yang berpendapat bahwa jika punya emosi marah itu harus dikeluarkan dan jangan dipendam karena nanti akan menjadi penyakit. Sebaliknya, sekalian saja jadi monster dari siapa dirimu sebenarnya, lalu coba jinakkan.
