Jumat malam kemarin, tanpa
perencanaan gue berangkat menuju Alexandria bareng dua orang teman gue, Fahmi
dan Hasan. Nggak tau juga deh, akhir-akhir ini sepertinya lebih suka memutuskan
hal secara spontan. Padahal sejatinya, gue sudah punya to do list
apa saja yang harus dikerjakan minggu ini loh, tapi ya gitu... hal-hal yang
harusnya gue selesaikan digantikan oleh keberangkatan gue menuju Alexandria.
Mas Uzi memang mantap!!
*lah ngaku-ngaku sendiri,
njir
Bodo amat
Salah satu alasan gue pergi
adalah karena gue suntuk dengan rutinitas yang ada di Kairo, butuh refreshing
sedikit. Itung-itung, gue mau balas dendam aja gitu, karena ketika liburan
kemarin kerjaan gue hanya di kamar-buka laptop-makan-tidur-ulangi. Walaupun gue
tau sih, kalau hal ini salah. Apalagi ketika gue ngobrol sama nyokap,
Gue: *sending pictures*
Nyokap: “Loh, kamu lagi dimana,
mas?”
Gue: “Alexandria, mah. Lagi suntuk
di Kairo, mau refreshing aja”
Nyokap: “Mamah yang tiap hari
kerja, ngurusuin rumah aja nggak suntuk, mas. Kamu tuh ada-ada aja”
Gue: “Ehe ehe ehe”
Nyokap: “Yaudah, jangan lupa
belajarnya”
Berasa di sentil sama nyokap.
Oh iya, buat yang belum tau,
jarak Kairo menuju Alexandria itu kurang lebih sama seperti Jakarta-Bandung
gitu lah. Dan jenis kereta yang biasa membawa penumpang dari Kairo-Alexandria
ada dua, kalau yang gue ceritain di tulisan ini, biasa disebut kereta adi (Kereta
biasa. Biasa banget malah, nggak ada istimewanya sama sekali. Malah terkadang disebut
kereta kambing). Kebetulan kereta yang gue naiki kemarin adalah jenis kereta mukayaf
(kereta ber-AC yang kalau lagi sial AC-nya bocor dan dingin mampus) yang darajah
tsaniyah. Gue nggak naik darajah ula ya karena harganya memang nggak
pernah akur sama kantong mahasiswa (darajah tsaniyah itu sekelas kereta
bisnis, darajah ula ya sekelas eksekutif).
![]() |
Bentuk tiketnya seperti ini. Nggak penting kan? Pura-pura penasaran aja lah ya. |
Sebelum masuk ke dalam stasiun,
pemandangan yang gue temukan adalah para pedagang headset yang berjalan
mendekati orang-orang yang berlalu lalang, sambil sering kali berteriak,
“Kullu samaaah bii asyroooh,
bii asyrooh, bii asyrooooh”
Yang artinya kurang lebih,
“ Yang mau Headset-headset,
ceban... ceban... ceban...”
Iya, dia bilangnya sih gitu. Tapi,
ketika kita (pembeli) menemukan headset yang bagus, nanti disuruh tambah
5 pound Mesir lagi.
Setelah tiga jam perjalanan,
akhirnya kereta yang gue tumpangi sampai di stasiun Siti Gabir (nggak tau deh,
tulisannya bener atau nggak). Selama perjalanan gue sama sekali nggak bisa
tidur, ini salah satu hal yang gue sesali sih sebetulnya. Karena dengan ini,
kebiasaan buruk gue tidur setelah shubuh aktif kembali.
Perjalanan menuju rumah Fahmi,
dilanjutkan dengan menggunakan kereta api. Lagi. Salah satu hal yang bikin gue
bahagia, sekaligus membuat gue harus mematikan Podcast yang sedang gue
dengarkan adalah karena rumah Fahmi ini tepat berada dibelakang stasiun kereta
api. Gue bahagia karena ini benar-benar suasana baru yang nggak akan gue temui
di Kairo (selain rumah lu yang berada di Kairo terletak dibelakang stasiun
kereta api juga. Tapi ini jarang banget sih). Dan alasan gue harus selalu
mematikan Podcast yang sedang gue dengar adalah ya karena setiap kereta sedang
berjalan selalu membuat suara bising. Tapi sejauh ini gue suka kok dengan suara
kereta ini. Terlebih kamu, aku suka kamu kok.
*Kagak nyambung, hasu
Ketika sedang mampir di baalah
(baca: warung), gue sudah menemukan hal baru. Pertama, ternyata di
Alexandria ada Indomie rasa kaldu udang. Kedua, karena ada Sibsi (nama snack
disini, kalau di Indonesia sejenis Lays gitu) yang rasanya belum pernah gue
temui di Kairo. See, bahagia gue sederhana banget kan?
Setelah menaruh tas di ruang
tengah, langkah kaki membawa gue menuju ruang dapur. Tangan gue mengambil panci,
kemudian mengisinya dengan air keran, lalu menaruhnya diatas kompor yang telah
gue nyalakan apinya. Sambil menunggu air matang, tangan serta mata gue nggak
bisa lepas dari layar hape. Malam itu gue mencoba menghancurkan keheningan
malam dengan menyalakan Podcast yang sudah gue save sebelumnya di hape. Walaupun
sudah tidak sesepi sebelumnya, tapi gue merasa hening. Banyak pertanyaan serta
jawaban yang kemudian muncul difikiran gue. Seperti,
Sebenernya apa sih arti
hidup yang gue jalani sekarang?
Hafalan juga nggak
nambah-nambah. Dasar gendut!
Mau dibawa kemana arah hidup
lu saat ini? Ibadahnya masih terburu-buru. Ngejar apa sih?!
Internetan doang? Belajarnya
kapan?
Apa memang mencari orang
yang dipercaya itu susah banget ya?
Lu nya juga sih bego, asal
cerita aja
Kenapa orang yang gue
percaya, malah melakukan hal seperti itu?
Emang lu maunya kayak gimana
hah?!
Nggak lagi deh cerita-cerita
kayak gitu
Jangan diulangi makanya,
ndut!
Apa rasa tertarik gue ke
perempuan itu, hanya bersifat sementara aja?
Atau harus diungkapin aja
gitu, biar plong?
Ah kayaknya dia ga ada tanda-tanda
suka sama gue juga sih
Anjir lah, sok-sok naksir
sama orang, ilmu juga belum punya. Dasar bego! Belajar makanya!
Ini perut kenapa malah tambah
ngembang, bukannya nyusuut, taiii?!! Dasar gendut!!
Ketika asik berbicara dengan
diri sendiri, panci yang berisi air itu telah mengeluarkan hawa panas. Gue dengan
sigap, mengambil segelas cangkir yang telah diisi sebelumnya dengan teh hijau
rasa mint serta sedikit gula. Oh iya, penasaran dua orang temen gue itu
pergi kemana? Mereka sudah asik melanjutkan tidurnya sejak tadi.
Malam semakin larut, semilir
angin di Alexandria yang tidak sedingin di Kairo, serta suara kereta api yang
sesekali menghancurkan keheningan malam, membuat malam ini terasa lebih nikmat.
Sambil menikmati teh hijau serta mendengarkan lagu Mari Becerita milik Payung
Teduh, semoga setelah teh hijau ini habis, segala keresahan ini menemukan
penyelesainnya.
Yah, Alexandria selalu punya cita
rasa yang berbeda dari Kota lainnya.
![]() |
Mungkin mereka saudara. Siapa tau? |